Thursday, February 10, 2011

The Gurus

Aku 24 tahun sekarang dan bulan depan akan genap usiaku seperempat abad. 25 tahun. Perjalanan yang berwarna dan tentu saja bukan cuman aku sendiri yang udah ngasih warna buat idupku. Rasa-rasanya idupku gak akan jadi lebih berwarna dan bermakna kalo gak ada orang-orang yang ada di sekitarku. Orangtuaku. Sodara-sodaraku. Temen-temenku. Segenap mreka yang kukenal. Gak akan jadi jauh lebih berwarna dan bermakna tanpa langit. Tanpa rintik ujan. Tanpa deburan ombak. Segenap apa yang ada di duniaku.

Di usiaku yang sekarang, yang masih sangat muda —menurutku—, ada juga hal lain yang bikin aku makin mensyukuri idup yang udah Tuhan kasih ke aku sampe sekarang. Dan itu adalah orang-orang yang udah ngasih pembelajaran, didikan, arahan, or mentoring ke aku. Mereka yang aku sebut sebagai guru.


A guru is one who is regarded as having great knowledge, wisdom and authority in a certain area, and who uses it to guide others (teacher). Other forms of manifestation of this principle also include parents, school teachers, non-human objects (books) and even one's own intellectual discipline. —Wikipedia


Setidaknya ada empat orang yang masuk dalam the list of guru yang aku punya. Gak semua berprofesi sebagai guru, pun mostly emang berprofesi sebagai guru. Dari setiap guru ada aja pembelajaran yang berbeda. Dan itu memberikan warna-warna sendiri. Warna-warna yang tercoret kuat dan dalam di kertasku. Inilah mereka... *ditulis berdasarkan urutan pertemuan*


Guruku yang pertama adalah seorang perempuan yang melahirkan aku, hee...

Beliau berprofesi sebagai guru di sebuah SMP. Pun berkali-kali bilang pengen pensiun dini dan buka usaha jahit sendiri di rumah, tapi beliau tetap menjalankan profesinya dengan penuh dedikasi. Hingga akhirnya sekarang jadi wakil kepala sekolah yang kerjaannya dan tanggung jawabnya ngalah-ngalahin kepala sekolahnya sendiri. Ketika aku sedang duduk di meja makan sambil ngadepin laptopku, beliau duduk di depan komputer rumah dan mengerjakan pekerjaannya. Kadang membuat pola untuk kegiatan praktik siswa. Kadang membuat aneka daftar —entah daftar apa aja yang beliau buat, aku gak tau dengan pasti. Kadang membuat soal. Kadang beliau duduk di depan tv sambil mengoreksi pekerjaan siswanya. Dan masih banyak lagi kegiatan lain yang dikerjakannya di rumah berkaitan dengan profesinya sebagai guru PKK dan wakasek. Dan setiap kali aku melihatnya, —meskipun kadang dalam lelahnya— beliau sering terlihat bercahaya.

Lalu gimana beliau memerankan perannya di rumah? Ah.. meja makan gak akan jadi tempat favoritku kalo gak ada makanan-makanan lezat setiap hari. Hehehe... tapi bukan itu yang terpenting. Beliau menunjukkan tanggung jawabnya karena udah melahirkan aku. Beliau menunjukkan hal itu dengan memfasilitasiku untuk menjadi diriku sendiri. Menjalani prosesku sendiri. Menghargai pilihan-pilihanku. Tidak selalu membantuku menyelesaikan persoalan-persoalanku, baik yang aku timbulkan sendiri maupun yang timbul dari luar diriku. Beliau memberikan fondasi untuk menjadi diri sendiri. Pada ayahku? Ibu berperan menjadi partner, setara namun menghargai.

Dari perjumpaan kami setiap hari dan dari cerita-ceritanya, beliau ngajarin ke aku kesabaran untuk ngadepin orang lain (yang g kunjung aku kuasai, hehehe... tapi bliau tetep dengan sabar ngajarin aku) dan dedikasi. Dedikasi pada profesi dan tentunya... dedikasi sebagai seorang perempuan yang berdaya.


Guruku yang kedua adalah seorang perempuan yang awalnya sering banget ngasih aku dan temen-temenku nilai ulangan gak lebih dari 5 dalam rentang nilai 0 sampai 10. Sangat menyebalkan! Galak lagi! Galak yang menyenangkan... Beliau mengajar matematika di SMA tempat aku belajar dan —beruntungnya aku— beliau mengajar aku selama kelas 1 dan 2.

Satu waktu, ada temen yang bilang ke beliau, “bu, kok pinter banget sih matematika? Kita aja gak ngerti-ngerti...”. Dan bliau menjawab, “alah, aku cuman menang duluan belajar matematika daripada kalian. Kalo kalian udah belajar selama aku belajar, aku yakin kalian pasti lebih jago dari aku”, dengan entengnya.

Darinya aku blajar kerendahan hati dan untuk memberikan dukungan. Belajar bahwa untuk menjadi sesuatu itu membutuhkan proses dan usaha. Dan itu membutuhkan... waktu.


Guruku yang ketiga adalah seorang laki-laki yang mengajar dengan cinta pada murid-muridnya. Beliau mengajar di sebuah sentra pendidikan yang mendidik anak-anak yang istimewa, tapi bukan di sentra pendidikan itu kami bertemu.

Kami bertemu pertama kali di kampus tempat aku belajar sekarang tapi saat itu hanya sekilas lalu. Dan kami kemudian bertemu lagi di sebuah rumah tempat temen-temenku dan aku tumbuh dan berproses sama-sama. Di sebuah rumah yang dinamai Sahabat Bunga. Ketika itu aku masuk tahun ketiga kuliah S1-ku.

Beliau begitu kaya. Bukan kaya dalam artian materi, tapi kaya dalam artian rasa. Padahal usianya masih terhitung muda. Dan hari makin hari, melaluinya aku belajar menyakini bahwa menjadi muda tidak sama dengan tidak menjadi bijaksana. Menjadi muda tidak berarti tidak kaya dalam pengalaman rasa.

Di rumah itu, lewat tulisan beliau aku mengenal frasa “tumbuh bermakna”. Dan hal utama yang diajarkannya padaku adalah menghikmati kehidupan dengan hati.


Guruku yang keempat adalah dosen yang aku asisteni sejak Agustus 2007 sampe sekarang. Seorang perempuan yang berperan sebagai mentor, gak cuman untuk hal-hal yang berbau akademik dan pengembangan karir tapi juga untuk hal-hal yang berbau personal.

Kali pertama aku terkesima dengan beliau adalah ketika pertemuan terakhir di kelas psikoterapi yang aku ikuti semasa S1 —waktu itu aku belum jadi asistennya. Waktu itu ada temen yang nanya suatu teknik behavioral kepada beliau. Ketika ditanya, beliau hanya mengernyitkan dahi kemudian bertanya, “apa itu? Aku belum tahu..”, dengan ringan. “Hah!”, kontan aku terkejut. Bukan terkejut karena beliau tidak tahu, tapi terkejut dengan caranya menjawab, caranya mengungkapkan ketidaktahuannya akan suatu subject yang —pastinya orang-orang akan beranggapan bahwa— mustinya diketahuinya. Aku terkejut dengan kejujurannya dalam menyatakan ketidaktahuannya.

Momen kedua yang begitu menggugah terjadi di malam hari. Ketika beliau, aku, dan seorang teman yang juga jadi asisten berkumpul di sebuah kamar lantai 7 Wisma MM UGM, beliau menanyakan, “kalian kan udah beberapa bulan ikut aku, sejauh ini apa yang sudah kalian pelajari?”. Hmm... baru kali pertama itu aku ditanyai tentang lesson-learnt. Pembelajaran dari proses mentoring dan asistensi yang gak cuman mencakup urusan akademik, karir, dan keilmuan tapi juga urusan kehidupan sehari-hari... tentang belajar dari hidup.

Guruku yang keempat mendidikku untuk belajar dari hidup itu sendiri. Belajar bahwa proses selain membutuhkan waktu, juga mempunyai tahapan. Belajar memfasilitasi orang lain untuk berproses. Dan belajar untuk tetap jadi diri sendiri ketika berhadapan dengan stereotype.


Yup, itulah sikit ceritaku —karena sangat dipadatkan— tentang guru-guruku dan aku. Gimana ceritamu?

3 comments:

  1. he... guru yg ketiga itu, aq sangat merindukannya nduk... hix,, :'(
    rasany pmikiran&hati diri ini saat ini, jika Allah ga mpertemukan dgnya entah jadi apa... ;)
    *maaf baru s4 bkunjung ke blog-mu

    ReplyDelete
  2. @ mb'Kunti: Makasih... =)

    @ kyu: Aku juga, kyu...
    *perminta'an ma'ap dima'apkan... ;)

    ReplyDelete