Sore ini salah satu jalanan di Jogja yang aku lewati untuk pulang bisa tebilang penuh! Gak bener-bener sampe macet, tapi emang padat merayap. Harus sangat hati-hati..
Nah, di salah satu bagian jalan, aku ngeliat sebuah tabrakan di jalan. Tabrakan itu melibatkan dua mobil. Ini critanya ada mobil nabrak mobil. Lupakanlah ya sapa yang sebenernya bersalah, kita cuman bisa liat yang mana yang tampaknya bersalah atas insiden itu dan yang mana yang tampaknya menjadi korban atas insiden itu. Yang menarik adalah percakapan antara dua pengemudi mobil yang terlibat tabrakan itu.
Lalu lintas yang padat dan membutuhkan waktu antri untuk jalan ternyata memberikan sebuah kesempatan unik untukku sore ini. Aku bukan tipe orang yang suka berhenti dan nonton --literally n-o-n-t-o-n-- kejadian-kejadian yang terjadi di jalan, misalnya kecelakaan, tabrakan, kebakaran di tepi jalan raya. Yah.. kejadian-kejadian macam itu yang suka dijadikan tontonan gratis. Biasanya aku hanya berlalu segera sambil bilang sendiri, "Ooo.. ada kecelakaan.." kalo itu kecelakaan, misalnya. Sore ini kesempatan mengobservasi pun datengnya karena kepadatan lalu lintas. Ceritanya, pas aku baru berhenti untuk antri jalan, aku ngeliat dua mobil menepi. Yang satu mobilnya peyok di depan, dan yang lainnya penyok di belakang. Tabrakan!
Pengemudi kedua mobil itu keluar dari mobil. Yang penyok di depan dikemudikan seorang anak muda dengan pakaian olah raga --sepertinya dia habis selesai basket karena kuliat dia pakai sepatu basket dan kaosnya agak basah--. Sedangkan yang penyok di belakang dikemudikan seorang bapak-bapak yang udah agak ubanan pakai kemeja dan celana kain. Kira-kira bapak ini usianya sekitar 50 tahunan tapi lebihnya belum banyak-banyak. Apa yang terjadi kemudian diantara keduanya sangat lucu buatku..
Si Bapak menanyakan surat-surat Si Anak --sepertinya dia menanyakan SIM atau sesuatu yang lain-- yang apesnya (!) Si Anak gak bisa menunjukkan itu surat yang dimaui Si Bapak. Lalu Si Bapak bilang, "Lha terus kenapa bawa mobil?!". Si Anak terus menerus bilang "Saya minta ma'af, pak..". Setiap kali bapak itu mengatakan sesuatu --yang bernada menyalahkan--, Si Anak selalu mengatakan "Iya" sambil mengangguk, pertanda dia mengakui kesalahan yang sudah dia lakukan. Dan setiap kaya "Iya" itulah yang selalu diikuti dengan kalimat "Saya minta ma'af, pak..". Dan setiap kalimat "Saya minta ma'af, pak.." itu berbalas lebih banyak statement menyalahkan dari Si Bapak ke Si Anak. Selama aku mengamati --dari jarak yang cukup dekat--, aku merasa bahwa gak pernah sekali pun Si Bapak mengatakan "Ya, saya ma'afkan..". Dunia macam apa ini?!
Aku sepenuhnya memahami kebetean dan kemarahan Si Bapak, tapi tidak mengindahkan perminta'an ma'af adalah hal yang berbeda. Memangnya ketika kita mengucapkan "Iya, saya ma'afkan" lantas itu berarti membebaskan orang lain dari tanggung jawab untuk memperbaiki kesalahan yang udah diperbuatnya? T I D A K !
Aku sepenuhnya sadar bahwa mema'afkan memang tidak mudah. Tapi sebuah ijab-qobul saling mema'afkan adalah langkah awal sebuah pema'afan. Dan dalam pemahamanku, pema'afan tidak berarti pembebasan atas tanggung jawab untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dibuat.
Ya! Aku sedih melihat kejadian kecelaka'an tadi sore..
Bukan karena kerusakannya parah, bukan juga karena ada korban jiwa --karena semua tetep sehat, si mobil aja yang sakit--. Tapi karena sebuah perminta'an ma'af yang terabaikan..
Si Bapak menanyakan surat-surat Si Anak --sepertinya dia menanyakan SIM atau sesuatu yang lain-- yang apesnya (!) Si Anak gak bisa menunjukkan itu surat yang dimaui Si Bapak. Lalu Si Bapak bilang, "Lha terus kenapa bawa mobil?!". Si Anak terus menerus bilang "Saya minta ma'af, pak..". Setiap kali bapak itu mengatakan sesuatu --yang bernada menyalahkan--, Si Anak selalu mengatakan "Iya" sambil mengangguk, pertanda dia mengakui kesalahan yang sudah dia lakukan. Dan setiap kaya "Iya" itulah yang selalu diikuti dengan kalimat "Saya minta ma'af, pak..". Dan setiap kalimat "Saya minta ma'af, pak.." itu berbalas lebih banyak statement menyalahkan dari Si Bapak ke Si Anak. Selama aku mengamati --dari jarak yang cukup dekat--, aku merasa bahwa gak pernah sekali pun Si Bapak mengatakan "Ya, saya ma'afkan..". Dunia macam apa ini?!
Aku sepenuhnya memahami kebetean dan kemarahan Si Bapak, tapi tidak mengindahkan perminta'an ma'af adalah hal yang berbeda. Memangnya ketika kita mengucapkan "Iya, saya ma'afkan" lantas itu berarti membebaskan orang lain dari tanggung jawab untuk memperbaiki kesalahan yang udah diperbuatnya? T I D A K !
Aku sepenuhnya sadar bahwa mema'afkan memang tidak mudah. Tapi sebuah ijab-qobul saling mema'afkan adalah langkah awal sebuah pema'afan. Dan dalam pemahamanku, pema'afan tidak berarti pembebasan atas tanggung jawab untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dibuat.
Ya! Aku sedih melihat kejadian kecelaka'an tadi sore..
Bukan karena kerusakannya parah, bukan juga karena ada korban jiwa --karena semua tetep sehat, si mobil aja yang sakit--. Tapi karena sebuah perminta'an ma'af yang terabaikan..
Tuhan begitu pema'af..
Dan Dia mengajarkan kita untuk menjadi pema'af..
Dan Dia mengajarkan kita untuk menjadi pema'af..
No comments:
Post a Comment