Menulis. Aku cuman pengen menulis. Gak lebih. Gak tau mau nulisin apa. Pokoknya neken tuts keyboard laptop.
Hm.. darimana perasa’an ini muncul ya? Perasa’an pengen nulis.. pengen menumpahkan sesuatu yang aku sendiri gak tau itu apa.
“Bukankah sering kmu menumpahkan sesuatu, ti?”
“Numpahin air minum maksudnya? Enggak juga..”, menjawab dengan males-malesan.
“Menumpahkan pikiran dan perasa’an, tiara... please..!”
“Ach so... Ya, lumayan.”, datar.
*krik.. krik..* Tiara yang lain males nanggepin lagi.
Malem ini, gak seperti biasanya. Aku gak memutar playlist-ku. Aku duduk di kamar dan ditemenin suara ujan. Yap, di luar ujan. Tidak terlalu deras. Bukan juga gerimis. Yang seperti biasa adalah.. aku tetap suka suara hujan..
Suara ujan bikin aku merasa kuyup. Kaya’ aku baru ujan-ujanan. Padahal enggak. Suara ujan bikin aku memutar memori lama. Tentang aku dan titik-titik air ujan yang suka aku mainin dengan telapak tanganku.
Sekarang ujan makin deres di luar sana.
Aku teringat sebuah lagu. Utopia. Hujan.
Aku suka lagu itu. Kaya’ aku suka hujan. Tapi bahkan aku gak punya minat untuk masukin lagu itu ke dalam playlist-ku dan memutarnya. Aku hanya ingin mendengarkan suara ujan.
Sekarang ujan masih sama deresnya di luar sana.
Rinai hujan basahi aku
temani sepi yang mengendap
kala aku mengingatmu
dan semua saat manis itu
Segalanya seperti mimpi
kujalani hidup sendiri
andai waktu berganti
aku tetap tak'kan berubah
Aku selalu bahagia
saat hujan turun
karena aku dapat mengenangmu
untukku sendiri ooohhh..
Selalu ada cerita
tersimpan di hatiku
tentang kau dan hujan
tentang cinta kita
yang mengalir seperti air
Aku selalu bahagia
saat hujan turun
karena aku dapat mengenangmu
untukku sendiri ooohhh..
Aku bisa tersenyum sepanjang hari
karena hujan pernah menahanmu disini
untukku ooohhh...
(Utopia. Hujan)
Sekarang ujan makin deres di luar sana.
Ingatan akan lagu itu membawaku pada beberapa potong memori. Kaya’ menceburkan diri ke dalam pensieve milik Dumbledore. Dan cairan (kalo itu bisa disebut cairan, karena bergas juga) kental berwarna keperakan yang ada di dalamnya adalah sari dari memoriku sendiri.
Tiga memori. Tiga orang yang tertahan ujan bareng aku.
Ujan tetep deres di luar sana.
Sore itu ujan lebih deres daripada malem ini. Sepi. Mendung bikin jam 4 serasa jam 5, bahkan mungkin jam5.30. Dan aku masih mengenakan seragam putih-biruku saat itu. Aku jalan sendirian di koridor kelas ketika aku denger ada suara bola beradu dengan tembok dari sebuah ruang kelas. Kupercepat langkahku menuju kelas itu, berharap menemukan seseorang yang aku kenal biar ada temen untuk membunuh waktu. And gotcha... ternyata dia.
Ternyata gak cuman aku yang surprise ketika ngeliat dia masih di sekolah, dia pun gitu.
“Hi!”
“Lho.. blom pulang, Tir?”
“Blom. Masih ujan deres n blom dijemput.”
“Sama ni... Aku juga gak bisa cari bus buat pulang. Ujannya deres banget.”
Dia dan aku melanjutkan obrolan sambil jalan nyusuri koridor ke arah depan sekolah. Masih ujan deres. Dan blom ada tanda-tanda aku bakalan dijemput. Dan kami kembali menyusuri koridor-koridor sekolah. Sesekali ktemu dengan siswa lain yang juga terjebak ujan. Sampai akhirnya aku dijemput dan dia masih terjebak di sekolah. Blom bisa pulang.
Ketika dia dan aku terjebak ujan sama-sama, dia dan aku sudah menjadi temen baik. Dan semakin baik setelah kejadian sore itu. Hingga beberapa taun kemudian dia dan aku kembali menjadi teman biasa. Dan hingga suatu hari dia dan aku dipertemukan kembali.
“Hi..”
“Hi, Tir..”
“Lama gak ktemu. Apa kabarmu?” sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
“Baik. Alhamdulillah...” sambil memasukkan kedua tangannya ke saku jaket yang dipakainya.
Begitulah.. Dan dia gak lagi jadi bagian penting dalam idupku. Hanya pembelajaran selama berproses dengannya yang penting sa’at ini.
Ujan masih deras di luar sana.
Waktu itu jam hampir menunjukkan pukul 3 sore. Dia duduk di teras rumahku. Ngeliatin ujan setelah dia dan aku sibuk berceloteh kesana-kemari. Hari itu entah untuk keberapa kalinya dia ke rumahku, aku sudah lupa. Kadang dia suka keheranan kenapa aku suka ujan, pun demikian sangat tidak suka kehujanan apalagi pakai jas ujan. Kadang dia keheranan ketika aku mainin air ujan yang jatuh di telapak tanganku.
“Apa sih enaknya?!”, tanyanya sambil bersungut-sungut ketika aku maksa dia ngerasa’in.
“Sini.. dicoba dulu makanya,” kataku. Bandel.
Namun seperti hari aku memaksanya merasakan tetes air ujan -yang gagal dilakukannya, hehehe..- , dia menghargai pilihan-pilihan yang aku ambil untuk idupku sendiri. Meskipun ketika dia sangat tidak suka akan pilihan yang aku ambil. Dia.. seperti hari ketika dia tertahan ujan dan gak bisa pulang, seperti hari ini ketika aku nulis tulisan ini, dan semoga bgitu juga besok-besok.. Dia adalah sahabatku. Karib.
Sekarang ujan mulai mereda di luar sana.
Siang itu mungkin ujan seperti sa’at ini. Tidak deras, tapi bukan gerimis. Langit gak mendung. Dia dan aku duduk di teras rumahku. Untuk pertama kalinya.
“Hujan..”, katanya ketika melihat titik-titik air mulai turun dari langit. Lalu ngeliat ke jam tangannya.
“Nah, gimana? Mau brangkat sekarang?”
“Entar aja. Nunggu ujannya sedikit reda. Aku tak sms dulu ya..”
“Ya..”
Setelah dia mengirim sms, obrolan pun kembali dilanjutkan. Kadang jelas, kadang gak jelas. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk menerobos ujan karena ada janji lain yang mau gak mau harus dia penuhi. Berpamitan dan memakai jas ujan.
“Nanti kalo ada yang mo diobrolin, kita ktemu lagi,” ketika berdiri di depanku selesai memakai jas ujan.
“Ya..”
Dia pun beranjak. Menerobos ujan. Pertemuan selanjutnya? Sayang cerita ini belum ada pertemuan selanjutnya. Dan aku gak bisa bilang apa-apa.
Sekarang ujan udah berhenti di luar sana.
Dan mulai kuputar lagu itu. Utopia. Hujan.
Ujan yang selesai nyisa’in tanah yang basah. Dan cerita ini nyisa’in pertanya’an untukku. Gimana selanjutnya cerita terakhir itu? Semoga Tuhan berkenan jadi jembatan pertemuan kami. Smoga Dia berkenan menghadirkan pelangi selepas ujan usai.. =)
No comments:
Post a Comment